Payung Pelindung dan Panutan ku

Bagaskara mulai menunjukkan kewenangannya, langit yang mulanya petang mulai menunjukkan cerahnya. Sayup-sayup suara mulai terdengar. Teriakan ibu yang memarahi putri remajanya jelas terdengar. Di lain ruang, sang kepala keluarga terlihat menikmati sejuknya udara pagi dengan secangkir teh yang telah tersaji. Jam dinding telah menunjukkan pukul 06:00 WIB. Masih cukup pagi, namun sepertinya semua akan terasa kurang jika tidak ada keributan yang terjadi di dalam rumah minimalis ini. Hanya hal sepele tapi reaksinya membuat keluarga empat anggota seperti sepuluh orang anggota. Suara keributan dari dua orang, terdengar begitu sengit pertengkaran mereka. Sudah hal biasa, orang pun tau dan memaklumi bahwa persaudaraan itu jarang adanya kerukunan.
Ayah hanya menghela nafas melihat raut wajah kedua putrinya yang sama-sama tertekuk lesu. Berbeda halnya dengan ibu yang sudah menduga akan ada keributan di pagi ini. Aku duduk dikursi paling pojok ruang keluarga ini, masih dengan tatapan sengit yang mengarah pada anak berambut pendek di samping ibuku itu. Wajahnya terlihat menjengkelkan, dalam kondisi seperti ini dia masih sempat menjulurkan lidahnya kepadaku dengan maksud mengejek.
“Bangun bukannya bersih-bersih, malah ribut. Malu sama tetangga”
“Udah remaja tapi ribut anak kecil”
Qaela, adik ku yang tidak terima itu lantas menyanggah,
“Kak Qhila yang mulai”
“Loh-”
“Udah, mandi sana jangan nambah ribut lagi”
Protesan yang hendak aku layangkan terpotong begitu saja dengan seruan ibu yang meminta kami untuk mandi. Apalah daya? Mana mungkin aku berani membantah ibuku tercinta itu. Dengan berat hati aku berjalan kearah kamar untuk mandi. Untung saja kamar mandi di rumah ini tidak hanya satu. Coba saja jika hanya satu, sudah pasti akan ada perang dunia lagi pagi ini.
Kemarin malam, ayah berjanji akan membawa kami pergi ke tempat penting.
Detik ini aku kebingungan, tempat penting apa yang dimaksud?
Ayah hanya membawa kami pada sebuah rumah dipinggiran kota. Sebenarnya rumah itu kosong tak berpenghuni tapi sepertinya masih ada yang mengurus. Karena bangunannya terlihat masih sangat terawat.
Tembok batu bata berwarna merah, bunga krisan banyak berjejer di halaman rumah. Pepohonan rindang mengelilingi lingkungan, menambah suasana sejuk di tempat ini. Memang indah, namun yang membuatku bertanya-tanya, ini rumah siapa?
“Rumah almarhumah nenek”
Seakan tahu kebingungan ku, ayah memberi jawaban tanpa di minta. Jangankan rumah, wajah nenek saja aku belum tahu seperti apa.
Ayah membawa kami untuk masuk dan berkeliling. Rumah ini sangat rapi dan bersih. Rasanya aku betah berada disini.
Tibalah makan siang ayah memintaku untuk mengikutinya. Batin ku kembali bertanya-tanya,
“Akan diajak kemana aku sekarang?”
Kami terus berjalan kearah bagian belakang rumah, hingga berhenti pada sebuah ruangan yang pintunya berwarna coklat pekat dengan bunga krisan menggantung di depannya. Sepertinya aku menyimpulkan jika dulunya nenek menyukai bunga krisan. Ayah masuk kedalam ruangan itu, aku pun mengikutinya dengan perlahan dari belakang.
Tidak menyeramkan, ternyata ini sebuah perpustakaan kecil. Banyak buku-buku yang tertata rapi di sini.
“Yah-”
“Sebentar Qhaila”
Baiklah, jika ayah sudah memanggil namaku dengan lengkap maka aku hanya bisa diam dan menurut.
“Qhaila sudah dewasa kan?”
Aneh, aku menganggap aneh pertanyaan ini. Bukan kah ayah bisa melihat sendiri bagaimana aku telah menjadi gadis remaja sekarang? Lantas, untuk apa lagi bertanya?
“Dewasa bukan hanya perihal usia dan fisik nak, tapi dewasa juga mengenai sikap dan cara berpikir. Qhaila bukan anak-anak lagi tapi kenapa masih sering ribut? Adikmu Qaela itu sikapnya masih anak-anak seharusnya kamu bisa lebih dewasa dan memahaminya. Jangan setiap hari kalian ribut karena masalah sepele”
Hari itu, di rumah peninggalan almarhumah nenek hawa sejuk menyelimuti. Tidak, tidak hanya lingkungannya tapi juga suasana hatiku. Ayah memberi wejangan yang sangat panjang. Aku diam dan aku dengarkan. Aku memahami, ayah ibu lelah melihat aku dan Qaela selalu bertengkar. Kami saudara tapi jarang ada kerukunan padahal kami hanya dua bersaudara. Ayah berharap, agar aku sebagai seorang kakak bisa memulai lebih dulu. Mengalah agar keributan tidak terjadi.
“Bukan ayah menuntut Qhaila terus mengalah. Ayah hanya ingin kamu memulai sebagai seorang kakak”
Mungkin aku awalnya tidak terima, karena yang mencari-cari keributan selalu lah Qaela. Namun, setelah beberapa saat aku memahaminya.
“Ayah ada untuk Qhaila”
Hatiku menghangat mendengarnya.
Tidak hanya itu, ayah mengajarkanku bagaimana agar selalu berpikiran positif. Aku bukan diberi beban tapi kepercayaan, ayah yakin bahwa aku mampu. Aku anak Perempuan pertama yang harus bisa mengangkat derajat keluarga. Ayah yang menginspirasiku untuk lebih maju, untuk selalu keluar dari zona nyamanku. Ayah hanya menuntut ku untuk disimpin dan menjadi seperti padi yang semakin berisi maka semakin merunduk.
Aku menghela nafas dan akan selalu mengingatnya hingga saat nanti.

Penulis :
Walimatus

 

Walimatus Eka Prastiwi
(Kelas 9F 2023/2024)

 

 

Leave a Comment